Photobucket

Ketika Jilbab Hanya Sebagai Asesoris

Thursday, December 9, 2010
     Seorang perempuan muda berjilbab mini tengah mengambil bolpoin yang jatuh di lantai. Secara mengejutkan, pakaian yang tak kalah mini dengan jilbabnya, terangkat ke atas hingga memperlihatkan bagian tubuhnya.
     Na’udzubillahi min dzalik, jika contoh yang dilukiskan itu sudah menjadi gambaran dari muslimah-muslimah sekarang ini. Niatnya memang baik, menutup aurat yang sudah menjadi kewajiban bagi setiap muslimah. Hanya saja, seringkali aurat yang ditutup tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dituntunkan oleh Islam.
     Lihatlah, betapa banyak perempuan-perempuan yang mengaku beragama Islam, mengenakan jilbab, tetapi masih mempertontonkan bentuk lekuk tubuhnya. Salah bergerak sedikit, bagian tubuhnya bisa kelihatan. Mininya jilbab yang dikenakan seringkali malah membuat rambutnya yang panjang menjuntai keluar.

     Kasus lain, ketika para ibu yang menghadiri walimahan mengenakan jilbab, namun lengan kebayanya masih transparan. Usai walimahan, biasanya mereka menanggalkan jilbab seolah-olah jilbab hanyalah sebagai asesoris untuk walimahan saja.
     Sama halnya dengan para siswi atau mahasiswi yang sekolah atau kuliah di sekolah atau universitas Islam yang mewajibkan untuk mengenakan jilbab, mau tidak mau mereka harus mengenakan jilbab ketika berada di lingkungan sekolah atau kampus. Di luar itu, mereka dengan mudahnya tanpa beban membiarkan rambutnya tidak tertutup oleh jilbab.
     Bahkan, ada juga sebagian mengenakan jilbab hanya karena merasa lebih cantik jika berjilbab. Rambutnya yang kurang bagus untuk diperlihatkan, terpaksa harus ditutupi. Jilbab modis yang dikenakan bisa mengalihkan penampilannya, hingga ia terlihat lebih mempesona dengan berjilbab.
     Sesempit inikah makna jilbab bagi para wanita muslimah? Amat sangat disayangkan jika jilbab hanya diartikan sebagai asesoris semata.

Memberikan Nilai sebagai Cermin

Menilai, yah.. inilah yang menjadi kebiasaan orang pada umumnya termasuk saya dan juga antum semua. Begitu mudahnya orang memberikan penilaian kepada orang lain. Memberi nilai ‘baik’atau ‘buruk’ seseorang hanya berdasar persepsi pribadi, tanpa mencoba meninjau dari berbagai sudut pandang yang lain apalagi ber-tabayyun. Ironisnya, seringkali penilaian ‘baik’atau ‘buruk’seseorang kadang hanya berdasar apa yang tampak di luar saja.

Seperti halnya yang pernah dialami oleh seseorang, sebut saja si A. Kala itu, ia bersama dengan segerombolan pria bertato, berpakaian tidak rapi dan nyaris sangat mirip dengan seorang preman. Kebetulan, saat itu ada tetangganya yang melihatnya bersama segerombolan yang (menurut tetangganya) ‘tidak baik’ tersebut.

Apa yang terjadi kemudian? Tetangga tersebut tanpa bertanya lebih lanjut kepada yang bersangkutan, langsung menyebut bahwa si A telah salah bergaul. Bahkan, ia dinyana telah terpengaruh dengan kehidupan menyesatkan dan terlibat kasus narkoba.